Bertahun-tahun bergelut dengan dunia batu bata, tak menjadikan Poniman ini merubah profesi hariannya. Dia begitu setia dengan apa yang saat ini dia kerjakan. Poniman sudah mengenal dunia kerajinan batu bata di usia SD, karena inilah profesi turun temurun dari bapaknya dulu.
Jangan mengira Poniman ini pemilik atau juragan batu bata, dia hanya orang miskin yang ngenger buruh alias karyawan dari bos juragan tanah di kampungnya. Tidak ada profesi lain yang bisa dia lakukan kecuali kerja di batu bata ini. Bekerja disawah tidak mungkin karena sekarang area sawah sudah menjadi perumahan, petani gulung tikar sudah malas bertani karena tidak sumbut dengan hasil panennya. Pupuk yang harganya selangit plus biaya perawatan besar menjadikan petani enggan untuk memberi makan penduduk Indonesia. Jadi, sebagian penduduk dari desa ini memilih untuk mendukung dunia properti dengan menjadi kuli batu bata.
Berangkat pagi buta sekitar pukul 05:30 setelah bersih bersih kandang ayam Poniman menuju ke area sawah yang kini menjadi tempat pembuatan batu bata. Tidak lupa membawa bekal makanan dan kopi dari rumah serta seragam baju gombal sebagai serepan ganti untuk mengaduk-aduk lumpur.
Sesudah sampai di tempat , Poniman mempersiapkan peralatannya berupa cangkul, cikrak*, ember dan tetek bengek lainnya. Dengan cangkulnya yang berat dan besar Poniman bertubi-tubi memukulkan ke tanah, menggalinya dengan teratur dan saat ini sudah sampai kedalaman 3 meter mirip kolam renang pagora Kediri. Sudah kebal punggungnya yang hitam legam diterpa terik matahari dengan otot-otot yang menonjol sebagai hiasannya.
Tidak sampai disitu saja, sesudah selesai mencongkel bongkahan tanah dengan cangkulnya Poniman menimba air di sumur dan menyiramnya kalau seandainya air itu di takar sepertinya lebih 2 kolah bak air untuk membuat adonan tanah itu. Sesudah menngguyur air pada adonan itu Poniman melanjutkan dengan menginjak-injak tanah tersebut sehingga seperti bubur lumpur. Dia adon terus sampai rata dan memberi sedikit campuran abu bekas bakaran bata agar adonan lumpur tersebur kesat mempermudah untuk dicetak.
Memerlukan tenaga yang luar biasa, Poniman masih mengangkat lumpur itu dari dalam kolam ke atas pelataran bolak-balik hingga ratusan kali. Jangan Anda tanyakan berapa lama waktu yang dia butuhkan melakukannya...
Sesudah adonan diangkat di pelataran, Poniman mulai mempersiapkan air dan ember beserta cetakan batu bata. Dan mulailah dia dari kiri ke kanan. Satu mud telapak tangan lumpur di angkat dan ditaruh dipercetakan, terus seperti itu hingga mencapai ribuan batu batu.
Panas, berpayung langit bertengger surya di atas kepalanya, punggungnya yang mengkilau dengan baluran keringat-keringat sebiji jagung tak membuatnya dia meninggalkan posisi duduknya yang mencetak satu persatu batu bata.
Ketika adonan habis dia tinggalkan batu bata itu agar mengering, dia pulang sejenak ke rumah untuk mencari pakan ternak kambingnya yang mulai teriak-teriak kelaparan.
Menghepaskan tubuhnya yang kekar jam 13:00 Poniman tidur sejenak untuk mengumpulkan tenaga untuk nanti pukul 15:00. Karena pekerjaan bata nya belum rampung, dia harus mengangkat batu bata yang agak kering dipelataran dan di tata rapi agar besok bisa mencetak batu bata lagi. Belum lagi kalau musim hujan, dia harus rela pontang-panting untuk menutupi batu batanya agar tidak hancu...
Begitulah sehari-hari dia. Oh ya, dia mendapatkan upah per seribu batu bata sekitar 25 ribu kalau dikalkulasikan sebulan 25 X 30 = 750.000/bulan, itupun kalau lagi musim terang, kalapun musim hujan kadang poniman tidak membuat batu bata hingga berminggu-minggu... Cukup ataupun tidak bagi Poniman untuk menghidupi keluarganya itu urusan lain.
Beda Poniman, beda pula Ponidi yang kini jadi tukang parkir dadakan di pasar sebelah. Nasibnya yang mujur dengan gaya hidup lebih terjamin daripada Poniman Ponidi memilih menjadi tukang parkir, karena dia pikir tanpa modal besar dengan tenaga besar dia mampu menghasilkan uang banyak bahkan berlipat-lipat daripada jadi pembuat batu bata. Atau pak Pardi yang jadi petani terong? Ooh kalah jauh, masih besaran penghasilan Ponidi dong. Ponidi dulu juga buruh tani, karena tidak mencukupi untuk beli rokok dan biaya sekolah anak, dia banting setir juga membuat batu bata. Hanya bertahan beberapa bulan Ponidi merasa pekerjaannya tidak cocok untuk masa sekarang. Akhirnya Ponidi pergi kepasar untuk mencari inspirasi, bagaimanakah bisa menghasilakn uang tanpa susah payah. Ahaaaaaaa.. dia melihat motor banyak di pertokoan itu, dan akhirnya dia terjun jadi tukang parkir. Hanya bermodal sempritan mainan anaknya dan Cuma duduk udah dapat duit.
Setiap 1 sepeda motor Ponidi menarik 1.000 rupiah dan di pertokoan itu kurang lebih 100 sepeda motor yang parkir. Bisa dibayangkan berapa penghasilan si Ponidi?? Anda bisa ngitung sendiri...
Banyak cerita konyol si Ponidi tukang parkir ini, di antaranya ada salah satu toko yang tidak setuju adanya penarikan parkir (pinginnya parkir gratis). Salah satu ruko yang ramai itu salah satunya sebagai tempat usaha rental print dan photo copy. Nah, ketika itu ada orang hanya nge-print 1 lembar kertas kira-kira hanya 300 perak ngerutu marah-marah, bayangkan saja nge-print sama parkirnya lebih mahal parkirnya. Jadi dia harus ngeluarkan duit 1.300 hanya untuk print 1 lembar kertas (suatu hal yang tidak masuk akal)
Ada lagi ketika salah satu ruko counter penjualan pulsa yang di deretan sebelahnya, waktu itu ada pelanggan yang marah-marah karena mau membeli perdana dan ternyata perdana di konter tersebut habis. Nah, karena g dapat perdana si pelanggan pulang, eh dimintai parkir...tidak dapat barangnnya tapi harus mengeluarkan duit hanya untuk parkir.. naruh motor 1 Menit bayar 1.000... Mengenaskan. Peduli amat, yang penting Ponidi dapat duit..
Dan lebih seru lagi, ketika ada helm pelanggan yang hilang si Ponidi cuek saja tidak mau menggantinya. Sang pelanggan kembali sumpah serapah “emang kerjanya apa, hanya prrrrrrrrrriiiit, kiri kanan, minta duit doank, mana tanggung jawabnya, karcis satu buat 10 kendaraan bla bla bla bla!!
Segudang cerita tentang Ponidi si tukang parkir, tapi Ponidi cuek karena inilah pekerjaannya dia ingin hidup lebih baik dari Poniman atau petani yang lain.
Tapi denger-denger sepertinya Poniman berencana ingin mengikuti jejak si Ponidi...
Yogyakarta, 08 Juli 2012
-------------------------
Iklan
DOWNLOAD VIDEO
Jangan mengira Poniman ini pemilik atau juragan batu bata, dia hanya orang miskin yang ngenger buruh alias karyawan dari bos juragan tanah di kampungnya. Tidak ada profesi lain yang bisa dia lakukan kecuali kerja di batu bata ini. Bekerja disawah tidak mungkin karena sekarang area sawah sudah menjadi perumahan, petani gulung tikar sudah malas bertani karena tidak sumbut dengan hasil panennya. Pupuk yang harganya selangit plus biaya perawatan besar menjadikan petani enggan untuk memberi makan penduduk Indonesia. Jadi, sebagian penduduk dari desa ini memilih untuk mendukung dunia properti dengan menjadi kuli batu bata.
Berangkat pagi buta sekitar pukul 05:30 setelah bersih bersih kandang ayam Poniman menuju ke area sawah yang kini menjadi tempat pembuatan batu bata. Tidak lupa membawa bekal makanan dan kopi dari rumah serta seragam baju gombal sebagai serepan ganti untuk mengaduk-aduk lumpur.
Sesudah sampai di tempat , Poniman mempersiapkan peralatannya berupa cangkul, cikrak*, ember dan tetek bengek lainnya. Dengan cangkulnya yang berat dan besar Poniman bertubi-tubi memukulkan ke tanah, menggalinya dengan teratur dan saat ini sudah sampai kedalaman 3 meter mirip kolam renang pagora Kediri. Sudah kebal punggungnya yang hitam legam diterpa terik matahari dengan otot-otot yang menonjol sebagai hiasannya.
Tidak sampai disitu saja, sesudah selesai mencongkel bongkahan tanah dengan cangkulnya Poniman menimba air di sumur dan menyiramnya kalau seandainya air itu di takar sepertinya lebih 2 kolah bak air untuk membuat adonan tanah itu. Sesudah menngguyur air pada adonan itu Poniman melanjutkan dengan menginjak-injak tanah tersebut sehingga seperti bubur lumpur. Dia adon terus sampai rata dan memberi sedikit campuran abu bekas bakaran bata agar adonan lumpur tersebur kesat mempermudah untuk dicetak.
Memerlukan tenaga yang luar biasa, Poniman masih mengangkat lumpur itu dari dalam kolam ke atas pelataran bolak-balik hingga ratusan kali. Jangan Anda tanyakan berapa lama waktu yang dia butuhkan melakukannya...
Sesudah adonan diangkat di pelataran, Poniman mulai mempersiapkan air dan ember beserta cetakan batu bata. Dan mulailah dia dari kiri ke kanan. Satu mud telapak tangan lumpur di angkat dan ditaruh dipercetakan, terus seperti itu hingga mencapai ribuan batu batu.
Panas, berpayung langit bertengger surya di atas kepalanya, punggungnya yang mengkilau dengan baluran keringat-keringat sebiji jagung tak membuatnya dia meninggalkan posisi duduknya yang mencetak satu persatu batu bata.
Ketika adonan habis dia tinggalkan batu bata itu agar mengering, dia pulang sejenak ke rumah untuk mencari pakan ternak kambingnya yang mulai teriak-teriak kelaparan.
Menghepaskan tubuhnya yang kekar jam 13:00 Poniman tidur sejenak untuk mengumpulkan tenaga untuk nanti pukul 15:00. Karena pekerjaan bata nya belum rampung, dia harus mengangkat batu bata yang agak kering dipelataran dan di tata rapi agar besok bisa mencetak batu bata lagi. Belum lagi kalau musim hujan, dia harus rela pontang-panting untuk menutupi batu batanya agar tidak hancu...
Begitulah sehari-hari dia. Oh ya, dia mendapatkan upah per seribu batu bata sekitar 25 ribu kalau dikalkulasikan sebulan 25 X 30 = 750.000/bulan, itupun kalau lagi musim terang, kalapun musim hujan kadang poniman tidak membuat batu bata hingga berminggu-minggu... Cukup ataupun tidak bagi Poniman untuk menghidupi keluarganya itu urusan lain.
Beda Poniman, beda pula Ponidi yang kini jadi tukang parkir dadakan di pasar sebelah. Nasibnya yang mujur dengan gaya hidup lebih terjamin daripada Poniman Ponidi memilih menjadi tukang parkir, karena dia pikir tanpa modal besar dengan tenaga besar dia mampu menghasilkan uang banyak bahkan berlipat-lipat daripada jadi pembuat batu bata. Atau pak Pardi yang jadi petani terong? Ooh kalah jauh, masih besaran penghasilan Ponidi dong. Ponidi dulu juga buruh tani, karena tidak mencukupi untuk beli rokok dan biaya sekolah anak, dia banting setir juga membuat batu bata. Hanya bertahan beberapa bulan Ponidi merasa pekerjaannya tidak cocok untuk masa sekarang. Akhirnya Ponidi pergi kepasar untuk mencari inspirasi, bagaimanakah bisa menghasilakn uang tanpa susah payah. Ahaaaaaaa.. dia melihat motor banyak di pertokoan itu, dan akhirnya dia terjun jadi tukang parkir. Hanya bermodal sempritan mainan anaknya dan Cuma duduk udah dapat duit.
Setiap 1 sepeda motor Ponidi menarik 1.000 rupiah dan di pertokoan itu kurang lebih 100 sepeda motor yang parkir. Bisa dibayangkan berapa penghasilan si Ponidi?? Anda bisa ngitung sendiri...
Banyak cerita konyol si Ponidi tukang parkir ini, di antaranya ada salah satu toko yang tidak setuju adanya penarikan parkir (pinginnya parkir gratis). Salah satu ruko yang ramai itu salah satunya sebagai tempat usaha rental print dan photo copy. Nah, ketika itu ada orang hanya nge-print 1 lembar kertas kira-kira hanya 300 perak ngerutu marah-marah, bayangkan saja nge-print sama parkirnya lebih mahal parkirnya. Jadi dia harus ngeluarkan duit 1.300 hanya untuk print 1 lembar kertas (suatu hal yang tidak masuk akal)
Ada lagi ketika salah satu ruko counter penjualan pulsa yang di deretan sebelahnya, waktu itu ada pelanggan yang marah-marah karena mau membeli perdana dan ternyata perdana di konter tersebut habis. Nah, karena g dapat perdana si pelanggan pulang, eh dimintai parkir...tidak dapat barangnnya tapi harus mengeluarkan duit hanya untuk parkir.. naruh motor 1 Menit bayar 1.000... Mengenaskan. Peduli amat, yang penting Ponidi dapat duit..
Dan lebih seru lagi, ketika ada helm pelanggan yang hilang si Ponidi cuek saja tidak mau menggantinya. Sang pelanggan kembali sumpah serapah “emang kerjanya apa, hanya prrrrrrrrrriiiit, kiri kanan, minta duit doank, mana tanggung jawabnya, karcis satu buat 10 kendaraan bla bla bla bla!!
Segudang cerita tentang Ponidi si tukang parkir, tapi Ponidi cuek karena inilah pekerjaannya dia ingin hidup lebih baik dari Poniman atau petani yang lain.
Tapi denger-denger sepertinya Poniman berencana ingin mengikuti jejak si Ponidi...
Yogyakarta, 08 Juli 2012
-------------------------
Iklan
No comments:
Post a Comment